Senin, 09 Desember 2013

Kewajiban membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk ma’mum atau imam:



  • Kewajiban membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk ma’mum atau imam:

Sering kita dengar dari saudara kita muslim yang melarang makmum untuk membaca surat Al-Fatihah bila sholat jama’ah waktu Maghrib, Isya’, Shubuh atau sholat Jum’at), karena bacaan Imam sudah termasuk bacaannya. Apa kah benar yang dikatakan saudara kita itu? Marilah kita sekarang meneliti dalil-dalilnya baca Al-Fatihah setiap rakaat dalam sholat:
Firman Allah swt: ‘Maka bacalah apa yang mudah dari Alqur’an (QS.Al-Muzanmmil:20). Pada ayat lain disebutkan: ‘Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dbaca berulang-ulang dan Alqur’an yang agung’ (QS.Al-Hijr:87)

  • Didalam hadits-hadits Rasulallah saw. antara lain:

Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari) meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Mu’alla: “Nabi Muhamad saw. lewat dan aku (sedang) mendirikan sholat. Lalu beliau memanggilku. Aku tidak menjawabnya hingga aku selesaikan sholatku. Lalu aku datangi beliau saw. Beliau bersabda: ‘Apa yang meng- halangimu untuk mendatangiku ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab; Aku sedang sholat (ketika itu). Beliau saw. bersabda: ‘Bukankah Allah swt. berfirman, Wahai orang-orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan Allah dan Rasul-Nya“. Setelah itu beliau bersabda; ‘Senangkah jika aku mengajari- mu surah yang paling agung didalam Alqur’an sebelum aku keluar dari masjid’? Setelah berselang beberapa saat Nabi Muhammad saw. pergi untuk keluar dari masjid. Lalu aku mengingatkannya. Beliau bersabda; ‘Alhamdu lillahi rabbi al-‘alamin’, itulah tujuh ayat yang diulang-ulang dan (itulah) Alqur’an yang diberikan padaku”  Hadits dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘’Ummu Alqur’an ialah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Alqur’an yang agung”. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya (V11:381 Al-Fath Al-Bari). Al-Hafidz dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan bahwa Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus dari Umar, kemudian dari ‘Ali (bin Abi Thalib). Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu adalah Fatihat Al-Kitab ‘(Al-Fatihah). Dari ‘Umar ada tambahan ‘Diulang-ulang pada setiap rakaat’.
 Imam Bukhori [pada juz ‘Membaca (Al-Fatihah) dibelakang Imam’ (bab wajib membaca Al-Fatihah bagi Imam dan Ma’mum, dan ukuran miminal yang dibaca) halaman 8 cet. Al-Iman Madinah Al-Munawwarah] mengatakan: ‘Secara mutawatir ada berita atau kabar dari Rasulallah saw. bahwa tidak ada sholat (yang sah) kecuali dengan membaca Ummu Alqur’an’ (induk Alqur’an, yakni Al-Fatihah).
 Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim (1:295) dan dalam Al-Fath al-Bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap mengenai sabda Rasulallah saw.: ‘Tidak ada sholat yang mencukupi bagi orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadits ini menurut Imam Bukhori mutawatir. Maksud hadits ini bukan tidak ada sholat yang sempurna, melainkan tidak ada sholat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah. Dalil wajibnya membaca Al-Fatihah ini berlaku baik untuk imam maupun yang me- lakukan sholat sendirian.
 Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Al-‘Abbas bin Al-Walid Al-Narsi guru (syeikh)nya Imam Bukhori dari Sufyan dengan isnad tersebut, dengan redaksi; ‘Tak ada satu sholat pun yang mencukupi jika tidak dibaca Fatihat Al-Kitab’. Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Al-Fath (11:241) menyebutkan bahwa riwayat itu mutaba’ahnya (riwayat yang mengikuti dan menguatkannya) yaitu yang diriwayatkan Al-Daraquthni. Juga ada saksi penguatnya bagi riwayat Al-Daraquthni tersebut yang diriwayatkan Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah dalam kedua shohih-nya.
 Sedangkan dalil bahwa membaca Al-Fatihah itu wajib dilakukan setiap raka’at dalam sholat, adalah sabda Rasulallah kepada seseorang yang me- lakukan sholat tidak sempurna. Rasulallah saw. mengajarkan apa yang harus dilakukan dalam sholat pada setiap raka’at. Beliau saw. bersabda: “Kemudian lakukan itu semua pada (gerakan) sholatmu semuanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:208].
 Rukun sholat yang keempat adalah membaca Al-Fatihah pada setiap raka’at, baik untuk imam mau pun makmum. Demikian pula yang munfarid (sholat sendirian). Membaca Al-Fatihah tidak gugur (kewajibannya) kecuali bagi makmum yang mendapatkan imamnya sedang ruku’ (ketinggalan sholat berjama’ah). Dalam kondisi seperti itu dia dianggap telah mendapatkan satu raka’at (telah membaca Al-Fatihah) meski dia belum membaca Al-Fatihah. Dahulu masalah ini diperselisihkan, tetapi kemudian mendapat ijma’ (kesepakatan) para ulama. Demikianlah yang dikutip Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Ausath 111:115.
 Begitu juga dalam riwayat Ibn Hibban dalam Shohih-nya (V:89) dan lainnya dikatakan, “Kemudian lakukan itu pada setiap raka’at”.
Dalil yang mewajibkan untuk membaca Al-Fatihah bagi makmum, baik bacaan dalam sholat secara sir/pelan (dhuhur dan ashar) mau pun bacaan sholat jahar/jahran (maghrib, isya’, shubuh, sholat jum’at) sebagai berikut:
Pertama: Adalah keumuman kandungan hadits yang telah dikemukakan di atas yang dirwiayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yaitu ‘Tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Fatihat Al-Kitab’ (surat Al-Fatihah).
Kedua: Ubbadah bin Shamit ra. meriwayatkan: “Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulallah saw. pada sholat Shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kamu sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’?. Kami menjawab;‘Ya’. Beliau saw. bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. (HR.Imam Ahmad (V:316); Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam; artinya membaca (Al-Fatihah) dibelakang Imam; Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar (1:215); Abu Dawud (1:217-218); Imam Turmudzi (II:117); Ibnu Khuzaimah dalam shohih-nya (III: 36); Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:86); Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah (III:82) dalam Sunan-nya (II:164) dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar (III:81) dalam periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni (I:318) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I:238).
Hadits tersebut shohih dan tsabit (kuat). Dan menurut Al-Khathabi sepeti di sebutkan dalam Syarh Muhadzdzab-nya, Imam Nawawi (III:366), ‘Isnad hadits tersebut jayyid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’. Hadits tersebut juga telah diakui keshohihannya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), beliau menyifatinya sebagai hadits tsabit (kuat).
 Imam Turmudzi (setelah adanya hadits Ubbadah bin Shamit itu) mengatakan: “Berkenaan dengan bab itu, terdapat riwayat (yang serupa hadits itu) dari Abu Hurairah ra., Siti ‘Aisyah ra., Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullan bin A’mr”. Lalu Imam Turmudzi mengatakan: “Mengamalkan hadits ini, yang berkenaan dengan membaca (Al-Fatihah) di belakang imam, berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi saw. mau pun tabi’in. Itu pun pendapat yang di pergunakan oleh Imam Malik bin Anas, Ibn Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat (mengenai wajibnya) membaca (Al-Fatihah) dibelakang imam.
 Hadits yang dikemukakan oleh Anas bin Malik ra; “Bahwa Rasulallah saw. melakukan sholat dengan para sahabatnya. Setelah selesai sholat, beliau saw. menghadap kepada mereka lalu bersabda: ‘Apakah kalian membaca (Alqur’an) dalam sholat kalian dibelakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah saw. mengucapkan itu tiga kali. Lalu ada (banyak) yang berkata, ‘Sesungguhnya kami melakukannya (membaca Alqur’an)’. Beliau saw. bersabda; ‘Maka janganlah kalian lakukan, dan hendaklah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab didalam dirinya (tidak dijaharkan)’ “. (HR.Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:162); Imam Daraquthni dalam As-Sunan (I:340), hadits ini shohih; Al-Hafidz Al-Haitsmi dalam Mujma’ Al-Zawaid (II:110) dari hadits Anas ra.. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la, Imam Thabrani dalam Al-Ausath, dan rijal perawinya tsiqat.)
 Hadits yang dikemukakan oleh Yazid bin Syurak: “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (Alqur’an) dibelakang imam. Lalu dia menyuruhku untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Saya bertanya; ‘Engkau bagaimana’? Dia berkata, ‘Aku juga sama’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu dilakukan jika engkau menjahar (dalam sholat jahar)?’.Dia menjawab; ‘Jika aku menjahar (melakukan sholat jahar) aku pun membacanya’ “.(HR.Al-Daraquthni dalam As-Sunan (I:317) mengatakan; ‘Ini isnad shohih’. Atsar-atsar shohih mengenai hal itu dari kalangan sahabat pun banyak, (silahkan lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas atau tambahan khusus). Al-Hafidz Al-Zaila’i dalam Nashbu Ar-Riwayah (II:12) mengatakan: ‘Hadits ini menunjukkan sebab turunnya hadits ‘Siapa yang mempunyai Imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’. (Sebab- nya) tersebut ialah mengangkat suara (menjaharkan) dengan membaca (Al-Fatihah) dibelakang imam dan membaca surah disamping membaca Al-Fatihah’. (info: sebabnya ialah si makmum membaca Al-Fatihah dibelakang imam dengan suara jahar juga membaca surah setelah membaca Al-Fatihah --pen.)
 Imam Al’Aini dalam ‘Umda Al-Qari’ mengatakan: “Sebagian sahabat kami menganggap hal itu (mengangkat suara dengan membaca Al-Fatihah dan surah) sebagai perbuatan yang baik demi ihtiyath (kehati-hatian) dalam segala sholat. Sedangkan menurut sebagiannya hanya terbatas pada sholat sir (yang bukan jahar) saja. Pendapat terakhir ini dipegang oleh fugaha (para ahli fiqih) Hijaz dan Syam (Syria). Hadits di atas (Siapa yang mempunyai Imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya), menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242) mengatakan: “Tetapi hadits tersebut menurut hafidh penghafal hadits merupakan hadits lemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah di ambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan yang lain nya”. Begitu juga diantara yang melemahkan dan menolak hadits tersebut ialah Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at halaman 9. Ia mengatakan; ‘Kabar ini tidak tsabit (kuat) menurut para pakar baik menurut penduduk (ulama) Hijaz maupun penduduk (ulama) Irak dan yang lainnya karena hadits ter- sebut mursal dan munqathi’ ”.
Diantara bukti-bukti lemahnya hadits (siapa yang mempunyai imam,maka bacaan imam menjadi bacaan baginya) tersebut dan kebathilannya adalah;
a) Jika benar bacaan Imam itu mewakili bacaan (rukun sholat yakni Al-Fatihah) makmum seperti yang disebutkan dalam dalil hadits tersebut mengapa dzikir-dzikir yang lain selain Al-Fatihah seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya tidak dijatuhkan keharusan membacanya dari makmum, padahal hukumnya bacaan-bacaan ini ialah sunnah?
b) Begitu juga seandainya hadits tersebut shohih dan itu tidak mungkin tidak tercantum didalam hadits itu yang menunjukkan bahwa bacaan imam mencukupi (mencakup semua) bacaan makmum, karena hadits tersebut bersifat umum. Dan kalimat (dalam hadits itu) ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis yang mudhaf (disandarkan) mencakup apa saja yang dibaca oleh imam, tidak hanya terbatas kepada bacaan Al-Fatihah saja. Demikian pula halnya dengan firman Allah swt. ‘Dan apabila dibacakan Alqur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah agar kamu sekalian mendapat rahmat’ dan hadits, ‘Jika dia membaca, maka perhatikanlah’.
c) Seandainya hadits ini shohih maka kalimat haditsnya bersifat umum sehingga mencakup Al-Fatihah dan lain-lainnya. Sedangkan hadits Ubbadah (yang telah kami kemukakan di atas) itu bersifat khusus mengenai bacaan makmum surat Al-Fatihah, sehingga hadits ini mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. Demikianlah yang di tetapkan dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqih). Adapun kalimat hadits ‘Dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’ yang disebutkan dalam sebagian riwayat hadits (seperti) ‘Imam itu dijadikan hanya untuk di ikuti, maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah….(HR.Muslim),.riwayat hadits ini tidak kuat. Karena riwayat ini disebutkan dalam Shohih Muslim (I:304) yang mengandung dialog antara Imam Muslim dengan muridnya Abu Bakar yang meriwayatkan hadits shohih Muslim dari Imam Muslim.
Orang yang tidak membolehkan makmum membaca ayat Alqu’ran (Al-Fatihah) dibelakang imam dalam sholat jahar juga berdasarkan hadits berikut ini:
Ibn Ukaimah dari Abu Hurairah ra yang mengatakan: “Rasulallah saw. melakukan sholat dengan kami, dimana bacaan (Al-Fatihah dan surahnya) di jaharkan. Setelah selesai beliau menghadap kepada orang-orang, seraya bersabda; ‘Apakah ada salah seorang dari kamu yang membaca (alqur’an) bersama-sama aku’? Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau saw. bersabda; ‘Ingat- lah, aku mengatakan; aku tidak pantas menentang Alqur’an (ma li unazi’u Alqurana)’. Abu Hurairah mengatakan, ‘Lalu orang-orang pun berhenti mem- baca (alqur’an) jika imam menjaharkan bacaan. Dan mereka membaca (Al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak men- jaharkan bacaannya”.
Adapun kalimat hadits di atas , Lalu orang-orang pun berhenti dari membaca, sebagian orang menyangkanya sebagai perkataan Abu Hurairah ra. saja. Menurut mereka, Abu Hurairah ra mengatakan; ‘Maka manusia (orang-orang) pun berhenti….’. Mereka yang mempunyai pemahaman tersebut di antaranya Syeikh yang controversial itu, dalam bukunya Shifatu Shalatihi (Sifat Sholat Nabi Muhamad saw.) pada halam 99. Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya lafadh —kata-kata mudrajah (tambahan) ---yang di tambahkan dari Az-Zuhri. Hal itu telah diterangkan oleh para imam hadits, antara lain Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at Khalfa Al Imam halam 29-30.
Hadits Ibn Ukaimah di atas, dibuat dalil/hujjah untuk melarang orang mem- baca Al-Fatihah dibelakang imam adalah keliru. Hadits tersebut dhoif. (lihat kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III oleh Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Dan jika benar, didalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang melarang membaca Al-Fatihah dibelakang imam. Yang dimaksud larangan disini ada lah larangan mengangkat suara/menjaharkan dengan bacaan Alqur’an setelah membaca Al-Fatihah. Sebagaimana hal itu dijelaskan pada beberapa riwayat yang shohih. Jadi hadits itu bersifat umum yang ditakhsish (dikhusus- kan atau dikecualikan sebagian kandungannya).
Bila kita telah mengetahui bahwa imam, makmum dan yang melakukan sholat sendiri wajib membaca Al-Fatihah, maka ketahuilah bahwa disunnah- kan bagi imam untuk diam sebentar setelah selesai membaca Al-Fatihah dalam sholat jahar. Tidak lain hal ini memberi kesempatan pada makmum untuk membaca Al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada dalil dari hadits Samurah yang mengatakan: “Dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah saw.. Tetapi Imran bin Hushain mengingkari itu, dia berkata, ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Maka kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab); ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah saw)’.
Sa’id salah seorang perawi hadits tersebut dan putera Abu ‘Arubah mengatakan; ‘Kami berkata kepada Qatadah, Apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’?. Ia berkata; ‘Pertama, jika dia masuk dalam sholat (sebelum membaca Al-Fatihah) dan kedua, jika dia telah selesai membaca (Al-Fatihah). Setelah itu dia berkata; ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laa Adhdhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 nr. 251] dan dia mengatakan hadits Samurah itu hasan, Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7], Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain. Hadits ini shohih; Ibn Hibban dalam Shohih-nya [V:112] dan pada halaman 113 dia mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran dan bukan Samurah’.)
Abdullah bin ‘Amr ra. meriwayatkan: “Nabi Muhammad saw berkhutbah di hadapan banyak orang. ‘Siapa yang melakukan sholat wajib atau sunnat (subhatan) maka hendaklah membaca Ummu Alqur’an dan (ayat) Quran ber- samanya. Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu Alqur’an itu cukup bagi- nya. Dan siapa yang (melakukan sholat) bersama imam, maka hendaklah dia membaca (ummul Alqur’an itu) sebelumnya, atau jika dia diam. Dengan demikian siapa yang melakukaan sholat tidak membaca Ummu Alquran, maka sholatnya khidaj (kurang).’ (beliau mengucapkannnya) tiga kali”. (HR.Abd.ar-Razzaq dalam Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787) hadits ini hasan karena sesungguhnya.Al-Mutsanni bin Ash-Shabbah itu tidak tercela dalam periwayatannya dari Amr bin Syu’aib. Hal itu sebagaimana diperingatkan oleh Al-Huffazh dan telah disebutkan mengenai riwyat hidupnya delam Tahdzib At-Tahdzib (X:33). Tetapi dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam periwayatannya dari ‘Atha sebagaimana mereka ahli hadits menjelaskan hal itu. Dia diakui kuat/tsiqah (oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh jumhur didasarkan kepada apa yang telah kami sebutkan .)
Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan: “Atas dasar dalil tersebut jelaslah bahwa imam perlu diam sebentara dalam sholat jahar supaya makmum berkesempatan membaca Al-Fatihah. Hal itu untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca Alqur’an imam membaca Alqur’an juga. Sebetulnya telah ditetap- kan (lewat hadits shohih) bahwa makmum diperbolehkan membaca Al-Fatihah dalam sholat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian). Hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Amk-hul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (sholat) fajar (shubuh)…..sampai orang yang tidak membaca Al-Fatihah …lihat hadits Ubbadah”. Demikianlah menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Wallahu a’lam.
(Dinukil dan dikumpulkan dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. cet.pertama penulis Syeikh Hasan Bin 'Ali As-Saqqaf, Jordania, diterjemahkan oleh Drs.Tarmana Ahmad Qasim).


  • Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah

Setiap orang yang melakukan sholat diwajibkan membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah karena basmalah merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan kuat dari Rasulallah saw.. Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulalallah saw. bersabda: “Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’ Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Adalah salah satu ayatnya”. (HR.Daruquth- ny [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lainnya dengan isnad shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).

(Syeikh Saqqaf (pengarang) merasa aneh terhadap at-tanaqudhat (kontradiksi) bahwa muhaddits ash-shuhuf wa al-auraq (pembaharu lembaran-lembaran koran dan kertas), bukanlah pembaharu intelek yang benar dan jujur. (Dia) menshohihkan hadits di atas tersebut dalam beberapa tempat dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang dinisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Shohih Al-Jam’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [III: 179]. Meski pun demikian dia tetap saja berkata dalam kitab Sifat Sholat Nabi–nya halaman 96: “Kemudian Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya”. Jika Basmalah diakui (oleh dia) sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak dikeraskan juga bacaannya?)
 Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu mem- baca wa-laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).
 Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shohih).
 Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).
 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya); Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan keshohihannya. Rincian pem- bicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Ada pun hadits dari Abu Hurairah ra., diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya [I:232] dan perawi lainnya. Haditsnya shohih. Al-Dzahabi rupanya berusaha me lemahkan hadits tersebut dalam Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhammad itu dhaif’, yang dia maksud adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian. Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, termasuk rijal (sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib [IX:367]. Disitu disebutkan Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui hal itu juga dalam At-Taqrib-nya).
 Disebutkan dalam shohih Bukhori [II:251 dalam Al-Fath al-Bari], bahwa Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan (jaharkan) maka kami pun memper- dengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), maka kami pun menyamarkannya (melirihkannya)…”.
Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
 Imam Muslim dalam Shohih-nya [I:300] meriwayatkan hadits dari Anas ra. yang mengatakan: “Ketika suatu hari Rasulallah saw. berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya; ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulallah’? Beliau menjawab; ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, innaa a’thainaaka al-kautsar….sampai akhir hadits’ “. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim-nya [IV:111) bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah kecuali surah Bara’ah atau at-Taubah berlandaskan dalil bahwa basmalah itu ditulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/kaligrafi) mushaf. Hal itu didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijma’ mereka bahwa mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Alqur’an dengan khath Alqur’an yang selain Alqur’an. Ummat Islam sesudah mereka pun sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijma’ bahwa basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua menguatkan apa yang telah kami katakan.
 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun: “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw.  daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya [II:266 dalam Al-Fath]; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100]; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232]; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shohih. Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut).
Sedangkan menurut Syeikh Saqqaf (pengarang), hadits itu bukan yang paling shohih, justru hadits Anas yang diriwayatkan Imam Bukhori lah yang paling shohih yaitu “Rasulallah saw. me-mad-kan (memanjangkan bacaan) bismillah, me-mad-kan Ar-Rahmaan dan me-mad-kan Ar-Rahiim”. Ibn Hajar dalam Al-Fath II:229 telah menetapkan untuk menggunakan hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan adanya jahar dengan basmalah’.
 Dalam Shohih Bukhori [IX:91 dalam Al-Fath] disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi Muhammad saw.. Dia men- jawab: “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.
Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52]. Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.
Argumentasi ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa Rasulallah saw. bersabda, ”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayat ihdaa- hunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Itulah tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. Al-hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.
Dari keterangan itu semua dapat ditetapkan ada empat indikasi mengenai ke- lemahan hadits Anas ra di atas tersebut:
a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadits tersebut. Dalam hadits itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.
b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu
c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan, sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah. Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah Yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits mu’allal). Men-jam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.
d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat -radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat umpamanya kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378]).Wallahu a’lam. (Dinukil dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.107 s/d hal.111, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar