Senin, 09 Desember 2013

makna dan hikmah peringatan maulidin Nabi saw. (peringatan kelahiran Nabi saw.) dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya


  • makna dan hikmah peringatan maulidin Nabi saw. (peringatan kelahiran Nabi saw.) dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya. 

Menurut riwayat pertama kali yang mengadakan acara peringatan-peringatan hari kelahiran dan kewafatan adalah pada pertengahan abad kedua tahun Hijriyah pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka memperingati hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya.
Golongan pengingkar ada yang mengatakanmenurut riwayat sejarah awal mula peringatan maulidin Nabi saw. diadakan oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi dan dia ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan Yahudi, Nasrani jauh dari Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang itu kita benarkan sebagaimana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi yang penting lihat dan bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at Islam maka dibolehkan dan malah di anjurkan oleh Islam untuk mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah kalian melihat siapa yang berbicara tapi dengar- kan apa yang dibicarakan’.
Jadi walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya bila hal itu bermanfaat bagi masyarakat. Memang sifat kebiasaan golongan pengingkar yang sudah terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi amalan sesuatu karena bertentangan dengan pahamnya, mereka akan mencela, mencari jalan macam-macam untuk menjelekkan pribadi orang-orang yang menulis atau yang menciptakan sesuatu amalan tersebut.

Riwayat tentang awal mulanya peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam, begitu juga mengenai tanggal lahir beliau saw. tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya manusia secara massal untuk menyelenggarakan peringatan-peringatan keagamaan ini terjadi setelah zaman Nabi saw. dan para sahabat. Peringatan maulid ini diselenggarakan oleh muslimin yang terdiri baik dari kaum ulama mau pun kaum awam seluruh negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq, Indonesia, Malaysia, Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan, India serta dinegara-negara barat dan lain sebagainya.
Di Saudi Arabia walaupun disini tempat lahirnya Muhammad Abdul Wahhab imam golongan wahabi/salafi serta pengikutnya banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau flat-flat serta dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting dipemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang ditimbulkan oleh golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut. Penulis pernah tinggal di Saudi Arabia dan sering menghadiri peringatan maulid disana.
Malah sekarang yaitu di Madinah setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan bulan mulia lainnya pada setiap malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang sebagian besar dari golongan madzhab Syiah dari Iran, Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul dimuka kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama do’a Kumail (do’anya Amirul Mukminin Ali kw. yang diajarkan pada Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga oleh tentara-tentara Saudi Arabia hanya untuk menjaga keamanan saja.
Penulis sendiri, waktu naik haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksi- kan hal tersebut serta memotonya. Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam jum’at berjalan didaerah itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut. Padahal dahulunya ulama-ulama Saudi sangat melarang ada- nya kumpulan-kumpulan pembacaan do’a dimuka umum seperti itu, apalagi sambil menggunakan pengeras suara. Mungkin dengan adanya dialog antara para ulama Saudi dengan ulama madzhab lainnya mengenai hal ter- sebut, maka mereka tidak bisa melarangnya karena tidak adanya dalil yang jelas dan tegas tentang larangan tersebut malah sebaliknya banyak dalil yang mengarah kebolehan dan kesunnahan berkumpul bersama untuk membaca dzikir.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa ke hidupan Nabi saw., itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi rekayasa yang baik, karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya/bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi saw. Sebab masa hidup beliau saw. dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’. Tidak lain semua itu adalah ijtihad para ulama pakar untuk mengumpulkan orang guna memperingati maulid Nabi saw. secara bersama/massal. Jadi bid’ah (rekayasa) seperti itu adalah rekayasa yang baik sekali karena banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut.
 Allah swt. berfirman: “ ’Isa putera Maryam berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turun- kanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling Utama’ ”. (QS. Al-Maidah [5]:114)
Turunnya makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa saja sudah sebagai suatu kenikmatan dan hari Raya untuk ummat ‘Isa dan untuk yang datang sesudah mereka. Bagi ummat Muhammad Allah swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan karena lahirnya dan turunnya makhluk yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah saw. kedunia ini. Mengapa golongan pengingkar selalu melarang kita menyambut dan merayakan hari maulid beliau saw., sebagai suatu kenikmatan dan kebahagiaan buat kita?
 Allah swt.. berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. ” (QS. Ibrahim [14]: 5)
Yang dimaksud dengan hari-hari Allah pada ayat itu ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami mereka. Ummat nabi Musa disuruh oleh Allah swt. untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu baik itu yang berupa nikmat atau berupa adzab dari Allah swt.. Dengan adanya peringatan maulid itu kita selalu di ingatkan kembali kepada junjungan kita Rasulallah saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul! Mengapa justru golongan pengingkar melarang dan membid’ahkan munkar orang yang sedang memperingati hari kelahiran Rasulallah saw.?
Lupa adalah salah satu ciri kelemahan yang ada pada setiap orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak. Kita sering mendengar orang berkata: Summiyal-Insan liannahu mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan orang untuk beroleh maaf atas suatu ke salahan atau kekeliruan yang telah diperbuat. Bahkan di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi: 63 terdapat isyarat bahwa lupa adalah dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa as. menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan: ‘Tidak ada yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’.
Satu-satunya obat untuk dapat mencegah atau menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan. Bila orang telah di ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu. Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.
Bahkan para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi Muhammad saw disebut juga sebagai Mudzakkir yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras, para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.
Dengan keterangan singkat di atas jelaslah betapa besar dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai yang akan men- jerumuskannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan maulid Nabi saw. ini merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak sekali dalil naqli maupun ‘aqli yang mendukung dan membenarkan kegiatan yang baik itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan betapa mulianya dan betapa terpujinya kegiatan memperingati kelahiran para Nabi dan Rasul.

  • Cara-cara memperingati hari-hari Allah


Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetap- kan peringatan itu harus dilakukan secara berjama’ah ataupun secara individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal mem- peringati maulid Nabi saw. waktu yang paling sesuai adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.). Akan tetapi mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula bahwa dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak barakah, maka peringatan maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik secara berjama’ah.
Misalnya pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada waktu hari pernikah an, pindah rumah, pelaksanaan nadzar yang baik, beroleh rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun juga setiap acara-acara yang penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. menurut pandangan Islam pasti jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada di-isi dengan acara-acara lain yang hanya bersifat bersenang-senang saja tanpa makna.
 Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari Allah pada hari-hari ulang tahun turunnya nikmat, terdapat hadits shohih yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tentang puasa pada hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak memper- ingati Musa dari pada kalian’! (Nahnu aula bi muusaa minkum).
 Kecuali itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad bin Hanbal yang menuturkan sebagai berikut: “Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah saw. tiba (disuatu tempat di Madinah) diantara para sahabatnya ada yang berkata: ‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat berkumpul untuk mem- peringati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’. Yang lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain lagi menjawab; ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar suara yang mengusulkan; ‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain: ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul yang lain lagi berkata; ‘Kalau begitu, hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan hari Jum’at hari ‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“. (Iqtidha’us Shirathil Mustaqim).
 Kecuali dua hadits tersebut di atas terdapat hadits lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai nyanyian yang didendang- kan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah saw. masih hidup ditengah ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar. Peringatan demikian itu di lakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan hari bersejarah lain nya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan suku-suku Arab melawan Persia, sebelum Islam.
Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar [ra] berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abubakar dan ‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang sahabatnya ini. Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang berasal dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu lengkapnya sebagai berikut:
“Pada suatu hari Abubakar Ash-Shiddiq ra datang kepada ‘Aisyah ra (putri nya). Pada saat itu dikediaman ‘Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats. Siti ‘Aisyah ra. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi itu bukan biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abubakar ra., Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Abubakar, masing-masing kaum mem- punyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’ “. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih Bukhori 1/170).
Yang dimaksud dalam hadits kata hari raya kita ialah hari terlimpahnya nikmat Allah swt.kepada kita, oleh karenanya kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. itu Bukhori dan Muslim memberitakan, bahwa “didalam tempat kediaman Nabi saw. pada saat itu terdapat dua orang wanita sedang bermain rebana (gendang)”.
 Dalam shohih Bukhori 1/119 diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kepadaku. Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats. Beliau saw. lalu berbaring sambil memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling setan dibiarkan berada dirumah Rasulallah?’….Mendengar itu Rasulallah saw. segera menemui ayahku lalu berkata: ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah Abubakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.
 Riwayat lainnya memberitakan, bahwa “pada hari-hari perayaan Muna, Abubakar ra. datang kepada Siti ‘Aisyah ra. Ketika itu dirumah isteri Nabi saw. terdapat dua orang wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu Rasulallah saw. sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh Abubakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu Rasulallah saw. sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata: ‘Hai Abubakar, biarkan mereka, hari ini hari raya’ “!
 Siti ‘Aisyah ra juga pernah menceriterakan pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat beliau sedang menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain penyekat), agar aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang bermain hirab (tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw. merentang bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain. Setelah itu aku pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
 Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah ra mengatakan: “Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada saat beberapa orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau saw. merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
 Dalam hadits yang lain lagi Siti ‘Aisyah ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro dari Habasyah bermain darq (perisai terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta kepada Rasulallah saw. ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada orang-orang yang bermain-main itu Rasulallah saw. ber- sabda: ‘Hai Bani Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus ber- main hingga merasa jemu sendiri. Kemudian Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu pergilah’ “!.
 Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadits berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu entah orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan saja mereka’!
Sekarang telah kita ketahui, bahwa bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang dituturkan oleh hadits-hadits tersebut di atas ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai. Semua ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat, bahkan oleh isteri beliau saw. sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat ini kemudian dicatat dan diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhori dan Muslim radhiyallahu ‘anhum agar diketahui oleh segenap kaum muslimin.
Dalam hadits-hadits itu telah diketahui pula bahwa Rasulallah saw. mem- benarkan dan membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau peringat an-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan nikmat Allah swt. kepada ummat manusia. Beliau saw. tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah/sesat! Kita mengetahui pula bahwa Abubakar ra menyebut nyanyian sebagai seruling setan dan ‘Umar ra melempari orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun mengetahui juga bahwa Rasulallah saw. seketika itu juga menegor Abubakar dan ‘Umar karena dua orang sahabat Nabi itu berusaha melarang nyanyian (yang baik, tentunya) teriring bunyi rebana, dan menghalangi orang-orang bermain tombak dalam merayakan hari besar bersejarah itu.
Beliau saw. menegor dua orang sahabat tersebut karena beliau tidak memandang permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima tegoran Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.
Dalam shohih Muslim halaman 168 juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi saw. yaitu mengenai puasa setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw. Beberapa orang sahabat beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau berpuasa tiap hari Senin? Beliau saw. menjawab: “Pada hari itu yakni hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits ini kita memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah, karena men- cakup dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw. sendiri berpuasa setiap hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran beliau sendiri, bukankah sangat utama jika kita sebagai ummat beliau saw. berbuat mengikuti jejak beliau yaitu giat memperingati hari maulid beliau setiap tahun, bahkan tiap minggu (tiap hari Senin)? Dalam hal ini mengapa harus di munkarkan atau disesatkan…?
Pernyataan beliau saw. itu bisa dipandang sebagai dalil syar’i mengenai ke absahan peringatan maulid Nabi saw. Jawaban beliau saw. yang meng- hubungkan hari kelahiran beliau dengan hari turunnya wahyu pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian martabat hari kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya nikmat Allah swt. Dengan demikian sudah semestinyalah kita memandang hari maulid beliau saw. sebagai hari besar dan mulia yang perlu diperingati sewaktu-waktu.
Begitu juga Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha'us-Shriathil-Mustaqim, mengata- kan: "Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu'min yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain".
Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang sesuai dengan perubahan, perbedaan dan per- kembangan masyarakat setempat pada setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asal- kan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:
 Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang ‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat terbang dan sebagainya.
 Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.
 Cara pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun do’a.
 Dalam hal menunaikan zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.
 Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali dalil dapat kita ketemukan.
Kesimpulan keterangan di atas ini ialah segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan baik diamal- kan dengan cara bagaimana pun selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi'i menegas kan: "Hal ihwal baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah atau Sunnah, atau ijma' atau hadits (atsar), itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-'Izz bin 'Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.

Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi saw. untuk diamalkannya. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam) bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah ada lah mubah atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits-hadits shahih) yang mengharamkan masalah itu’. 

  • Nama kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah saw.


Menurut riwayat pada malam Rasulallah saw. dilahirkan tidak seperti malam-malam manusia lain dilahirkan. Peristiwa yang tertulis didalam hadits ter- masuklah getaran yang dirasakan di istana ‘Chosroes’ dan padamnya api yang telah menyala selama 1000 tahun di Persi dan beberapa peristiwa lain yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaya jilid 2 halaman 265-268.
Dalam kitab al-Madhkal oleh Ibnu al-Hajj jilid 1 halaman 261 disebutkan: “Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah swt.) telah mengurniakan kepada kita nikmat yang besar yaitu diutus-Nya Nabi saw. untuk menyampaikan Islam".
Sering kita baca atau dengar didalam peringatan maulidin Nabi saw. orang-orang membaca kitab-kitab maulid yang ditulis oleh para ulama pakar setelah zaman Nabi saw dan para sahabat. yang dikitab-kitab itu di ceriterakan riwayat tentang kelahiran Nabi saw., keutamaan, kebesaran dan mukjizat-mukjizat beliau saw. dan lain sebagainya. Kami akan mengutip beberapa saja nama ulama dan kitab maulid mereka berikut ini:
 Dalam kitab Kasyfudz-Dzunun dikemukakan bahwa orang pertama yang menulis kitab Maghazi (Manakib atau perilaku kehidupan Nabi Muhammad saw.) ialah Muhammad bin Ishaq terkenal dengan nama Ibnu Ishaq wafat pada tahun 151 H (pada zaman tabi’in). Dengan indah dan cemerlang ia menguraikan riwayat maulid Nabi serta menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah, shadaqah dan kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat ibadah.
Dapat dipastikan masa hidupnya Muhammad bin Ishaq ini pada zaman yang menurut sejarah Islam disebut zaman kaum Tabi’in. Karenanya dapatlah di simpulkan, bahwa semua yang ditulis dan diterangkan olehnya berasal dari orang-orang yang menyaksikan sendiri kehidupan para sahabat Nabi saw.. Hasil penulisannya kemudian diteruskan pada zaman berikutnya oleh Ibnu Hisyam, wafat dalam tahun 213 H. Ia menulis riwayat tentang perilaku ke hidupan Nabi saw., dan berhasil menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dianggap sebagai penulis pertama riwayat kehidupan Nabi saw. Dengan menulis kitab mengenai itu Ibnu Hisyam tidak bermaksud menghimpun semua nash yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. atau oleh para sahabat terdekat beliau saw.. Meski pun demikian ternyata buah karyanya beroleh sambutan baik dan dibenarkan oleh para ulama dan para pemuka masyarakat Islam. Tidak lain semuanya ini bertujuan memelihara dan me lestarikan data sejarah kehidupan Nabi saw.

 Adapun orang pertama yang menulis kitab maulid Nabi dan kemudian dibaca didepan umum dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa daulat ‘Abassiyah, adalah Imam Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Qadhi ‘Askar Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi Al-‘Abbasi wafat tahun 207 H . Imam ini adalah orang pertama yang menghimpun hadits-hadits para sahabat Nabi saw. mengenai kebajikan dan pahala membaca riwayat maulid Nabi saw.. Sedangkan para imam lainnya dalam menulis kitab-kitab maulid banyak mengambil dari Al-Waqidi, kitab rujukan yang banyak dibaca dalam peringatan-peringatan maulid yang diadakan oleh para Khalifah dan menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut juga banyak dibaca didalam per- guruan-perguruan agama Islam pada hari-hari peringatan dan hari-hari raya, pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Sehingga kitab maulid karya Al-Waqidi ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan anak-anak keturunan mereka.
 Allamah Nuruddin ‘Ali dalam kitabnya yang berjudul Wafa-ul-Wafa bi Akhbari Daril-Mushtofa mengatakan bahwa Siti Khaizuran, bunda Musa Amirul Mu’minin, pada tahun 170 H sengaja datang ke Madinah, lalu menyuruh penduduk menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw. di dalam masjid Nabawi.
 Imam Al-Jauzi (Al-Hafidz Jamaluddin ‘Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam madzhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan; “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi saw. ialah timbulnya perasaan tenteram disamping kegembiraan yang mengantarkan ummat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi saw. dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluar- kan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memper- ingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi saw. di dalam goa Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.
 Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.
 Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyyuddin ‘Ali bin ‘Abdul-Kafi As-Sabki  wafat tahun 756 H menulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhammad saw. Bahkan ia menfatwakan, barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhammad saw. serta keagungan maknanya ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.
 Imam Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar Al-Haitsami As-Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i wafat tahun 973 H menulis kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi saw.. Ia memandang hari Maulid Nabi saw. sebagai hari raya besar yang penuh barokah dan kebajikan.
 Imam ‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy wafat tahun 716 H. Ia menulis sajak dan sya’ir-sya’ir bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhammad saw., ke agungan yang tidak ada pada manusia lain mana pun juga. Tiap hari maulid Nabi para pemimpin Muslim berkumpul dirumahnya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan sya’ir-sya’ir Al-Buqiy itu.
 Dalam kitab Insanul-‘Uyun Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam ‘Ali bin Burhanuddin Al-Halabi mengatakan: “Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi saw., memang merupakan bid’ah hasanah/baik, bid’ah mahmudah/terpuji, sama sekali bukan bid’ah dholalah atau bid’ah madzmumah/tercela atau munkarah (bid’ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. sendiri menamakan shalat tarawih berjama’ah sebagai bid’ah hasanah. Dengan demikian maka orang yang berdiri sebagai tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik kelahiran Nabi saw. disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi dengan kegiatan infak dan shadaqah, semua nya itu jelas merupakan kegiatan terpuji.

 Ibnu Bathuthah dalam buku catatan pengembaraannya menceriterakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk dan cara memperingati maulid Nabi saw. yang dilakukan oleh Sultan Tunisia, Amirul Mu’minin Abul-Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan bahwa Sultan ini pada hari maulid Nabi Muhammad saw. mengadakan pertemuan umum dan terbuka dengan rakyat nya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan makan-minum secukup nya. Untuk itu Sultan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar (uang emas). Ia membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan dan undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak dan sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan diuraikan pula riwayat kehidupan beliau saw..Peringatan maulid dalam bentuk seperti ini juga dituturkan oleh penulis kitab Murujudz-Dzahab. Ia menyebut berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.
 Sultan Ibril, Mudzaffar wafat tahun 620 H semasa hidupnya sangat menaruh perhatian terhadap peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang di selenggarakan tiap tahun. Dua bulan sebelum bulan Rabi’ul-awwal, ia sudah mulai sibuk mempersiapkan segala kegiatan guna memeriahkan peringatan maulid. Tidak terhitung banyaknya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam yang datang ke Ibril untuk menghadiri peringatan maulid Nabi Muhammad saw.. Mereka mengharap beroleh keberkahan dengan datangnya hari yang mulia itu. Konon biaya yang dihabiskan untuk keperluan peringatan maulid seperti itu tidak kurang dari dua ratus ribu dinar tiap tahun. Demikian juga menurut pengembara yang lain lagi, Ibnu Khalkan. Dalam sebuah buku yang ditulisnya ia mengetengahkan keanehan-keanehan Sultan Mudzaffar.
Untuk menyingkat halaman dibuku, kami hanya kutip nama para ulama lainnya yang menulis kitab maulid Nabi saw. ialah: Imam Al-Hafidz Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin Hajar wafat tahun 973 H; Imam Abul-Khattab ‘Umar bin Al-Hasan Dzun-Nasabain wafat tahun 604 H atas permintaan Sultan Ibril ia menulis kitab maulid; Imam Al-Hafidz Abul-Faraj Ibnul-Jauzi nama kitabnya Al-Arus terkenal dengan nama Kitab Maulid Ibnul-Jazi ditulis olehnya pada tahun 590 H; Allamah Imam Yusuf An-Nabhani ; Imam Jamaluddin As-Sayuti; Imam Rabi’ At-Thufi Ash-Shurshuri nama kitabnya Maulid Ash-Shurshuriy, ia menulis kitab ini sekitar tahun 700 H; Imam Al-Hafidz Abul-Hasan ‘Ali Al-Mas’udiy wafat tahun 346 H kitab maulidnya terkenal dengan nama Kitab Maulid Al-Mas’udi.;
Imam Ash-Shalih As-Sayyid Al-Bakri dikenal dengan kitabnya Kitab Maulid Al-Bakri; Imam Mar’i bin Yusuf Al-Maqdisi wafat tahun 1033 H nama kitab maulidnya Kitab Maulid Al-Maqdisi Al-Hanbali; Allamah ‘Utsman bin Sind wafat tahun 205 H menulis kitab maulid dalam bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah saw.; Syeikh Hasan Asy-Syathi wafat tahun 1274 H dan Al-‘Allamah Abus-Surur Asy-Sya’rawi wafat tahun 1136 H kedua-duanya telah menulis kitab maulid. Seorang ulama ahli tafsir dari madzhab Hanbali Muhammad bin ‘Utsman bin ‘Abbas Ad-Dumani Al-Manawi menulis kitab maulid terkenal sangat indah; Al-‘Allamah Al-Ustadz As-Sayyid Rasyid Ridha, pemimpin majalah Al-Manar telah menulis kitab maulid yang banyak dibaca oleh kaum Muslimin di Mesir. Selain ulama masa lampau pada zaman-zaman berikutnya hingga zaman kita sekarang ini masih tetap banyak ulama yang menulis kitab-kitab maulid Nabi Muhammad saw.. Diantaranya: As-Sayyid Muhammad Shalih As-Sahruwardi judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi Tarikh Masyru’iyyatil-hafl Bi Yaumi Maulid An-nabiyyil-Mukhtar. Dalam kitabnya ini dia mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang keabsahan peringatan maulid Nabi Muhamad saw. sebagai ibadah sunnah yang ditekankan (sunnah mu’akkadah), agar kaum muslimin melaksanakannya dengan baik. Dan masih banyak lagi nama-nama para ulama yang menulis kitab-kitab mengenai maulidin Nabi saw, yang tidak tercantum disini.
Insya Allah para pembaca lebih mantep dan jelas bahwa peringatan Maulid ini sudah ratusan tahun yang lalu dikenal dan dijalankan oleh para ulama dan para Salaf dan Khalaf. Peringatan-peringatan maulid Nabi sudah biasa juga diadakan oleh raja-raja serta sultan-sultan di Turki, Mesir, Iraq, India dan diberbagai negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia. Tentu saja dengan cara dan dalam bentuk yang berbeda-beda variasi, sesuai dengan adat ke biasaan setempat.
Dengan adanya keterangan singkat di atas ini saja kita bisa bertanya: Mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan, mensesatkan, men- syirikkan dan lain sebagainya peringatan maulidin Nabi saw. yang mulia ini tanpa berdalil dengan nash yang jelas, hanya sering berdalil bahwa Nabi saw. dan para sahabatnya tidak pernah melakukan atau memerintahkannya? Apakah para ulama pakar yang telah dikemukakan di atas itu tidak mengerti hukum syari’at Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini saja yang mengerti?

  • Dalil-dalil dan hikmah yang berkaitan dan mengarah kebolehan peringatan Maulid


Dengan adanya majlis-majlis peringatan maulid tersebut meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita lagi untuk selalu ingat dan cinta pada Allah dan Rasul-Nya, karena kehidupan manusia dibumi ini senantiasa berubah dan berkembang. Itu telah menjadi hukum kehidupan Sunnatulllah yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban untuk meningkatkan kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulallah saw. itu sejalan dengan sunnahnya dan firman Allah. Firman Allah swt. yang mengingatkan ummat Muhammad yang mengakui mencintai Allah, untuk mencintai Rasul-Nya Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
"Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai dan hormati) aku (Muhammad) , dan Allah akan mencintai kamu".(Surat Aal-Imran: 31).

 Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah bersabda:"Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia seluruhnya."
 Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi saw. bersabda; "Tidak sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih cintai daripada diri kamu sendiri." Umar bin Khattab ra berkata; "Ya Rasulallah aku mencintaimu lebih daripada diriku sendiri”.
 Mari kita rujuk lagi firman Allah swt. berikut ini:“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu (para Nabi dan Rasul) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”. (S.Yusuf:111).
 Dan firman-Nya:“Dan semua kisah para Rasul kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu “. (S. Hud: 120)
 Firman-Nya: "Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa” (S. Al-Hajj: 32)
 Firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. (Al-Haj: 30)
Allah swt. didalam kitab suci Al-Qur’an telah menceriterakan riwayat-riwayat para Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa as. dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa, bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidup- an, kemuliaan/kedudukan para Rasul ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya yang telah dikemukakan tadi adalah jelas untuk dijadikan pelajaran dan memperteguh iman dalam hati.
Jadi kalau kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!
Begitu juga telah dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang ber- taqwa adalah orang yang mau mengagungkan syi’ar Allah swt. dan orang yang mengagungkan apa yang mulia disisi Allah swt. itu adalah yang terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan ke-Rasul-annya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang ter- besar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
Dalam hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan untuk mencintai Rasulallah saw. melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan manusia seluruh- nya. Keimanan kita tergantung dengan besarnya kecintaan kita kepada beliau saw. dan cinta kepada beliau saw. berarti kita cinta kepada Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya ini. Dengan sering memperingati hari kelahiran Rasulallah saw. akan menambah kecintaan kita kepada Allah swt. dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati kita untuk bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau saw.

 Didalam majlis maulid ini selalu dikumandangkan sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan ceramah agama yang mana semuanya ini sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan sholawat ini adalah perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya:"Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi" (QS 33:56). Seterusnya ayat ini disambung dengan perintah Tuhan .
" Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya ".
Arti shalawat Allah swt.pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggi- kan dan mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang yang beriman disuruh juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.
Ayat ini saja sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang itu bergantung kepada dan dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah! Limpahkanlah sholawat serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan para sahabat.

 Kita juga dianjurkan oleh Allah swt agar ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita sebagaimana Firman-Nya:
“Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz Dhariyat: 55)
 Juga kita dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang mana kebaikan itu bisa menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:“Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (S. Hud: 114)
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang membaca riwayat maulidin Nabi saw. baik secara individu maupun berjama’ah adalah termasuk berbuat kebaikan. Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadits-hadits di atas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat bergantung pada kecintaannya terhadap Rasulallah saw.. Kecintaan, ketaatan dan ke imanan pada Allah swt. dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantep di hati kita bila selalu di ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah kehidupan Rasulallah saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!

  • Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim


 Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu da’wah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai berikut: “Memang ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan ke agamaan dalam bentuk apa pun juga dan menganggapnya bid’ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syari’at.
Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato, ceramah ceramah dan pelajaran khusus, baik di masjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam mas media. Peringatan akan dapat mengingat- kan kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama. Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah swt. telah berfirman sebagai berikut:“Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “. (Adz-Dhariyat: 55)
Peringatan keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah swt. hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya per- ingatan-peringatan keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam suasana Al-Qur’an, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw, sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal, Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.
 Seorang penulis Islam, Al-Ustadz Abdurrahim Al-Jauhari dalam makalah-nya antara lain menginginkan agar peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya berlangsung dalam waktu sehari saja, tetapi supaya berlangsung selama sebulan penuh, agar para ulama memperoleh waktu yang cukup untuk menyebarluaskan nilai-nilai abadi yang terdapat didalam kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari besarnya pengaruh ajaran Rasulallah saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik secara sosial mau pun secara individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw. dapat dipandang sebagai suatu peristiwa terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan keagungan pribadi beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran pengaruhnya di seluruh dunia.
Ada pun mengenai resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati maulid Nabi saw. itu hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh Negara yang mengakui Islam sebagai agama resmi.
 Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir, gurubesar ilmu ‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islamy menerangkan antara lain sebagai berikut: “Perayaan peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan oleh Rasulallah saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang atau mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali ialah ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi saw.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi saw. atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami dengan mereka (yang membid’ahkan peringatan-peringatan keagamaan--pen) ialah mengenai pengertian atau ta’rif tentang bid’ah dan sunnah. Mereka mengata kan bahwa ‘setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih.
Akan tetapi mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid’ah yang disebut sesat (dholalah) dan yang tempatnya di neraka bukan lain adalah bid’ah yang di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah swt.: ‘Mereka mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah ” (Asy-Syura:21)
Jadi bid’ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok--pen) didalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan peringatan keagamaan lainnya”.
 Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang peringatan maulid Nabi saw. “Setelah abad-abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh Masehi) di kalangan kaum muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan perayaan memperingati hari maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun. Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keada- an lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue-kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini diletakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar luaskan kepada kaum muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang Quraish--pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku tersebut:
‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon waktu itu Rasulallah saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul. Juga dibuku tersebut meriwayatkan ketika beliau saw. telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan-keterangan riwayat beliau saw. yang tercantum dalam buku-buku tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama Hijriyah’ ”!
 Imam Abu Syamah gurunya Imam Nawawi ketika mengomentari peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut: “Diantara kegiatan terbaik yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad saw. yakni memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta menampakkan keriangan dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya terkandung perbuatan yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu kecintaan dan pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah swt.atas karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai rahmat bagi sekalian alam”.

 As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani rohimahullah, beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar Al-Allamah Ustadz Alawy, dikerajaan Arab Saudi yang berkedudukan sebagai Mufti Makkah. Sekali pun secara format kerajaan Arab Saudi madzhab Wahabi/Salafi tapi beliau tetap sebagai ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir ini ada golongan Salafi/Wahabi sebagaimana kebiasaannya berani meng- kafirkan seorang ulama yang bertauhid ini yakni Ustadz Muhammad al-Maliki ini karena tidak sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah kami di masukkan kegolongan yang mudah mengkafirkan sesama muslimin yang meng-Esakan Engkau dan beriman kepada Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Amin--pen.).
Maulid Nabi saw. yang tertulis dalam, makalahnya Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia) tersebut merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penya’ir Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama dan para penya’ir Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983, yang terbit di Makkah.
Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw. dalam makalahnya itu antara lain: Sebenarnya sudah terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau peringatan Maulid Nabi saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih memerlukan pemikiran kita. Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi permasalahan rutin setiap tahun, sehingga orang merasa jemu. Selama masih banyaknya pikiran yang secara diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan– perayaan atau peringatan maulid Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya berusaha memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang masih merasa butuh kepada penjelasan mengenai jaiz atau bolehnya penyelenggaraannya.
Lebih baik saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid Nabi saw. seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyata- kan pujian-pujian dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian dilanjutkan dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna menyemarakkan/menggembirakan kaum muslimin, semua- nya itu boleh/jaiz, tidak dilarang oleh syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh diselenggarakan kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan kelahiran beliau saw. adalah lebih baik, karena lebih menggugah ingatan orang kepada peristiwa besar yang terjadi dalam bulan itu dimasa silam. Dengan demikian orang lebih mudah mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.
Tidak dapat disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak untuk mem- peringati Maulid ini merupakan salah satu cara terpenting untuk menda’wah- kan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan itupun para ulama dapat meng- ingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah saw. Bagaimana sesungguh nya beliau itu, bagaimana keagungan dan keluhuran budi pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau saw. sehari-hari, bergaul dengan para sahabat- nya, bagaimana beliau menunaikan ibadah kepada Allah dan sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat.

  • Dalil-dalil jaiz/bolehnya perayaan dan peringatan maulid, sebagai berikut:


Peringatan maulid Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah saw. Bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau, seperti Abu Lahab, misalnya. Sebuah hadits dalam Shahih Bukhori menerangkan bahwa tiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw.. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang beriman!
(Begitu juga Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata: “Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam neraka justru ada keterangan bahwa selamanya disetiap hari Senin dia memperoleh keringanan siksa lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad Lalu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan diapun mati dalam keadaan bertauhid?--pen.)”.
Selanjutnya Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah saw. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba Allah yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadits dari Abu Qatadah yang mengatakan, bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab:‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt. menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Muslim dalam shahihnya).
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuan- nya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupa- kan tuntunan Al-Qur’an. Allah berfirman:‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt. menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Muslim dalam shahihnya).
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuan- nya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupa- kan tuntunan Al-Qur’an. Allah berfirman:“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’ “. (S.Yunus: 58)
Allah swt. memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad saw. jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam.
Dan firman-Nya:“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (Al-Anbiya:107)
Rasulallah saw. memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang pernah terjadi dimasa silam (sebelum beliau). Manakala masa terjadinya peristiwa itu berulang, itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya, menghormati hari terjadinya dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau telah menetapkan sendiri kaidahnya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, setiba Rasul-Alah di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka (orang Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa as) dan menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw. menjawab:‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidup nya Nabi saw. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada per- orangan (individu) yang memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’.
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan rahmat dan ampunan) kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, hendak lah kalian bershalawat (mendo’akan rahmat) baginya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Al-Ahzab: 56)
Betapa banyak pahala kebaikan yang didapat oleh orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi, sehingga Rasulallah saw. sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan do’a beliau bagi orang dari umatnya yang ber- shalawat kepada beliau. Dalam peringatan Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat beliau, mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan beliau akan berbagai segi kemuliaan beliau. Bukan- kah kita diharuskan mengenal beliau dan dituntut supaya berteladan kepada beliau serta mengimani Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang besar dan mem- benarkannya? Dikitab-kitab maulid banyak memaparkan semuanya itu.
Dengan selalu mengenal/mengingat keagungan perangai beliau serta mu’jizat-mu’jizat dan pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan lebih menyempurnakan keimanan kita kepada beliau saw.. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada semua sifat yang ada pada beliau saw., pasti semuanya ini akan menambah kecintaan kita dan lebih menyempurna- kan keimanan kita pada beliau sebagai Nabi dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan upaya/jalan untuk bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt berfirman: “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud: 120)
Dari firman tersebut tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhammad saw. Sudah pasti, umat Islam terutama saat ini sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah kita sangat membutuhkan kisah kehidupan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw.. Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin ber- pendapat tidak ada cara tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni tidak ada cara tertentu yang harus dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok peringatan ini mengajak orang kepada kebaikan yang ber- manfaat bagi mereka didunia dan diakhirat. Seumpama kita hanya menyata- kan pujian-pujian dengan menyebut-nyebut junjungan kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya,perjuangannya dan lain-ain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi saw. Menurut hemat kami pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.

  • Masalah Berdiri waktu Pembacaan Maulid.


Mengenai soal berdiri dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut detik-detik kelahiran Nabi saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang memang terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar. Sepanjang pengetahuan kami sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan para ahli ilmu (ulama). Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri didalam peringatan maulid itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.
Sangkaan batil itu adalah pada waktu berdiri itu percaya bahwa Nabi saw. keluar dari kuburnya dengan jasad beliau hadir ditengah jama’ah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang lebih buruk lagi bahwa mereka beranggapan kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jama’ah merupakan air minum yang disediakan khusus untuk beliau saw. Semua sangkaan dan dugaan-dugaan demikian itu sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikiran kaum muslimin, dan kita berlindung kepada Allah swt. jangan sampai berpikir seperti itu. Sebab hal-hal semacam ini termasuk 'kekurang- ajaran' terhadap kedudukan Rasulallah saw.
Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar. Anggapan seperti itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh (bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula menghadiri tempat-tempat kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan cahaya ilmu dan pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw., orang-orang beriman yang setia kepada beliau saw..
Imam Malik ra mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’ adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya”. Salman Al-Farisy (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia mendengar dari Rasulallah saw; “bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat bepergian menurut keinginannya”. Demikian itulah menurut kitab ‘Mengenai Soal Ruh’ yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.
(Lihat dua hadits terakhir di atas ini kalau ruh seorang mu’min biasa saja bisa bepergian kemana saja menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad saw. itu semua tidak lain kenikmatan dan rahmat yang di berikan Allah swt. terhadap hamba-Nya yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang terbatas ini sebagaimana yang Allah swt firmankan berikut ini: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit “.(Al-Isra: 85)..pen--.)

Karenanya soal berdiri dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib atau sunnah sama sekali tidak dapat dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap pendengarnya (yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut ni’mat besar yang dikaruniakan Allah swt. Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan orang, dan pernyataan sukaria demikian itu dipandang baik oleh para ulama pakar dan dilakukan oleh kaum muslimin diberbagai negeri , kawasan dan daerah. Para ulama di Timur mau pun di Barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik.
Hal itu dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syeikh Al-Barzanjiy. Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi saw. disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau saw. dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
Dalam sebuah pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang-orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri di atas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah saw.) karena beliau senantiasa Hadir di tempat mana pun beliau d sebut, bahkan beliau mendekatinya’.
Jelaslah sudah bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan ‘Nabi saw. yang mensunnahkan, dan tidak mengatakan para Khalifah Rosyidun yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan pensunnahan mereka itu mutlak, beliau hanya mengatakan bahwa para ahli ilmulah yang men- sunnahkan berdiri.
Syeikh Al-Barzanjiy berkata: 'Soal berdiri itu hanya untuk membayangkan pribadi Al-Mushthafa (Rasulallah saw.) didalam imajinasi (dzihn). Mem- bayangkan pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh setiap muslim yang mukhlish. Sering membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada beliau saw. yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang beliau saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka orang yang tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak berdosa dan tidak melanggar ketentuan syari’at '.
Memang benar, sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau kesan pada orang yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu dianggapnya tidak sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan orang yang meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.
Berdiri menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama) adalah disyari’atkan oleh agama. Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak terdapat didalam Sunnah. Mengenai masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj yang secara khusus menolak pendapat Imam Nawawi dengan menulis bab tersendiri yang berjudul Raf’ul-Mulam ‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min Ahlil-Fadhl.
Sebuah hadits Muttafaq ‘alaih meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. dalam salah satu khutbahnya dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormat pemimpin kalian’. Yang dimaksud pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka di suruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari kendaraannya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Ada sementara golongan yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut di atas terjadi semasa beliau masih hidup, dan beliau sendiri berada ditengah kaum Anshor, sedangkan dalam peringatan maulid, beliau saw. tidak berada di tengah para hadirin. Sebagai jawaban mengenai ini ialah: Sebagaimana yang telah saya kutip sebelumnya bahwa orang yang membaca kisah maulid Nabi saw. membayangkan kehadiran beliau saw. dalam imajinasinya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau jelas akan menambah peng- hormatan dan pemuliaan orang kepada beliau saw. Beliau datang ditengah alam jasmani dari alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau saw. seorang Nabi dan Rasul yang menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam hadits Qudsi beliau saw. mengatakan:“Aku duduk menyertai orang yang menyebutku”.
Menurut sumber riwayat lain:“ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau saw. kepada Allah swt. dan kecintaan Allah swt pada Rasulallah saw. serta mengingat pula akhlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana saja beliau disebut.
Baik dalam ayat Al-Qur’an mau pun hadits banyak meriwayatkan bahwa manusia yang telah wafat itu ruh-ruh mereka masih hidup, bisa bergembira, sedih serta mendengar ucapan-ucapan kita yang masih hidup, terbang kemana-mana menurut kehendaknya. Ruh-ruh orang mu'min biasa bisa terbang kemana-mana yang dikehendaki, apalagi Ruh junjungan kita Muhammad saw. dan pengikutnya yang setia.
Begitu pula hadits mengenai bacaan salam kepada Rasulallah saw. dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda:“Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku melainkan Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam “. (Abu Dawud)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jangan kamu jadikan kubur (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan bacakan selawat untukku, maka bacaan selawatmu itu akan sampai kepadaku dimana saja kamu berada”.
Dengan adanya dalil-dalil di atas tersebut maka para ulama untuk mem- biasakan berdiri dalam peringatan maulid pada detik-detik membaca kisah kelahiran Rasulallah saw. dan memberi salam kepada beliau saw. Hal yang sama ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin baik dari golongan awam atau ulamanya dalam berbagai madzhab di berbagai negeri, kawasan dan daerah.
Ada orang yang menafsirkan hadits riwayat Abu Daud terakhir di atas ini secara keliru yang mana mereka berkata bahwa kita tidak boleh (bid’ah) ziarah pada Rasulallah saw. cukup dengan membaca selawat dan salam untuk beliau dimana saja akan sampai. Sebenarnya yang dimaksud sabda Nabi tersebut adalah “janganlah kita bersusah payah harus menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata hanya untuk mengucapkan selawat dan salam dimuka makam Rasulallah saw., karena membaca selawat dan salam akan sampai pada beliau saw. dimana kita berada, jadi tidak harus menunggu berada dimuka makam Rasulallah saw.”. Juga kalimat hadits di atas ‘sebagai tempat perayaan’ artinya ialah agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai seperti halnya orang yang pergi berpesta, tapi kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat dimuka kuburan beliau saw. dan berdo’a pada Allah swt. Karena ini termasuk anjuran Allah swt yang mendidik tatakrama kepada ummat Islam terhadap Nabi saw..
Sebagaimana firman-Nya pada surat Al-Hujurat: 2/3/4 (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi ...sampai akhir ayat). Menurut pandangan ulama firman Ilahi ini juga berlaku baik dikala beliau saw. masih hidup maupun beliau setelah wafat. Begitu juga bila kita ziarah kepada kuburan Rasulallah saw. di Madinah, di masjid ini ada tertulis ayat Al-hujurat tersebut, dengan demikian orang-orang yang membaca dan mengerti artinya akan tidak berisik dimuka makam Nabi saw.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa kebiasaan waktu berdiri di majlis peringatan maulid tidak wajib maupun sunnah dan juga pula dimakruh- kan atau diharamkan, tidak lain semuanya itu perbuatan mubah dan ter- masuk juga sebagai ta’dzim (penghormatan) pada Rasulallah saw. karena waktu (berdiri) itu kita memberi salam pada pihak yang diperingati yaitu Rasulallah saw..
Para hadirin pada umumnya tidak memahami makna kitab maulid Barzanjiy yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi perhatian kita. Tetapi walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyu’an jalannya peringatan maulid, mereka mengharapkan berkah dan pahala karena ikut hadir dalam mengagungkan kebesaran Allah dan mencintai Rasul-Nya. Kegembiraan mereka menyambut peringatan kelahiran Nabi besar Muhammad saw. adalah kebajikan, lebih-lebih lagi jika kegembiraan itu disertai dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ma’ruf dan ihsan, seperti menyediakan makanan dan minuman bagi kaum fakir miskin, walimah-walimah, dan memanjatkan do’a kepada Allah swt. mohon diberi kemantepan iman, mohon keselamatan bagi semua kaum muslimin dan lain sebagainya.
Semuanya ini merupakan kegiatan yang patut dipuji, karena dalam jama’ah/kumpulan tersebut terdapat barokah (baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini). Sebab dalam hadits yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan: bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan: 'Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik dalam pandangan Allah swt. dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin buruk dalam pandangan Allah'. Hadits ini memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. dengan acara-acara yang sudah lazim berlaku. Yaitu; membaca uraian riwayat ke- hidupan Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan sholawat, berdzikir, tilawatul Qur’an, ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya yang semuanya ini di sunnahkan oleh syari’at, mathlub syar’iy (tuntutan syari’at). Demikianlah sebagian uraian para ulama-ulama pakar Islam mengenai peringatan maulid Nabi saw. Semua itu adalah perbuatan kebajikan bukan perbuatan pokok agama sebagaiman yang telah dijelaskan tadi.
Semua perbuatan nafilah (sunnah) atau mubah yang bersifat kebaikan, selama tidak bertentangan dengan agama, itu mustahab/dapat diterima. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang melarang hal-hal ter- sebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan lain sebagai- nya dengan memasukkan dalil-dalil yang semuanya itu tidak ada kaitannya dengan hal/masalah tersebut.
Insya Allah dengan adanya beberapa dalil dan pendapat para ulama pakar yang berkaitan dengan peringatan keagamaan itu, cukup jelas bagi kita untuk menilai kebaikan dan manfaatnya. Ingatlah sekali lagi walau pun pada zaman Nabi saw. atau para sahabat tidak menjalankan hal tersebut bukan berarti tidak boleh dijalankan atau dilarang/haram oleh agama. Semua yang dilarang oleh agama itu harus mempunyai nash/dalil yang jelas dan tegas masalah tersebut.
Begitu juga semua yang telah tercantum dibuku ini mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi saw., semuanya itu hanya berlaku jika peringatan maulid yang diadakan itu sama sekali tidak bercampur-aduk dengan kemungkaran-kemungkaran tercela yang harus ditolak. Jika peringatan maulid mencakup hal-hal yang harus ditolak seperti bercampur baurnya lelaki dan wanita tanpa dipisah tempat duduknya serta diselingi dengan hal-ihwal yang diharamkan agama, pengeluaran biaya yang berlebih-lebihan sehingga banyak makanan yang terbuang, semuanya itu tidak disenangi Rasulallah saw. dan tentu saja penyelenggaraan peringatan maulid yang demikian tersebut harus dicegah. Dalam hal seperti ini yang dilarang bukan lah peringatan maulidnya, tetapi sisipan dan cara penyelenggaraannya yang salah itulah yang harus diperhatikan!!. Wallahu a’lam.

  • Sekelumit makalah


Pernah kami baca dari lembaran internet Salafy tanggal 25/01/2004 sebagai penulis Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang mengatakan pada majlis peringatan maulid Nabi saw. tersebut berkumpulnya lelaki dan wanita-wanita yang bukan muhrim sehingga itu semua adalah munkar dan haram. Dan didalam majlis maulid Nabi saw. tersebut banyak hal-hal yang haram dijalankan oleh kaum muslimin tersebut diantaranya: minum khamar/alkohol, main judi, minum ganja dan sebagainya. Ini fitnahan yang membuat kaum muslimin pecah dan saling benci membenci.
Sayang sekali Syekh ini tidak menyebutkan pada majlis maulid apa dan di mana yang pernah dihadiri oleh beliau, sehingga adanya minuman alkohol, main judi dan sebagainya? Mungkin beliau ini hanya mendengar ceritera dongengan dari kawan-kawannya yang anti pada majlis maulid tersebut. Syekh ini mudah sekali menulis kata-kata bahwa majlis-majlis Maulid mungkar dan sebagainya dengan berdalil pada ayat Ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. yang mana tidak ada kaitannya dengan majlis peringatan maulidin Nabi saw. Beliau dan kawan-kawannya ini mudah sekali mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan yang baru yang tidak sependapat dengan faham mereka, walaupun amalan itu sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Lebih mudahnya mari kita baca bukunya Ustadz Quraish Shihabseorang ulama cukup terkenal di Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah, disini menerangkan bahwa ajaran hukum Islam ada dua macam haram;
Pertama; haram karena zatnya, misalnya babi itu haram dimakan, karena zat daging babi itu sendiri najis dan haram. Demikian juga dengan berzina.
Kedua; haram karena dia dapat mengantarkan ke sesuatu yang haram karena zatnya, misalnya; berkumpulnya dua orang berlainan jenis disuatu tempat yang terpisah dari khalayak ramai (berduaan saja) adalah haram, ini diharamkan karena dapat mengantarkan pada perzinaan.
Sedangkan berkumpulnya banyak orang pria dan wanita dalam satu majlis terbuka, umpama dalam majlis peringatan keagamaan atau lainnya, dimajlis terbuka ini tidak mungkin dapat mengantarkan perzinaan, apalagi bila tempat duduk mereka terpisah. Dengan demikian hal tersebut tidak dinilai sebagai sesuatu yang haram atau terlarang dalam agama. (Umpama dimajlis ter- sebut ada orang yang bermaksiat atau perbuatan munkar, maka orang itulah yang bertanggung jawab pada Allah swt., jadi bukan majlis dzikirnya yang harus dilarang atau diharamkan karena perbuatan maksiat pribadi tersebut--pen).

Pada masa Rasulallah saw., kaum wanita pernah ikut bahu membahu dan bekerja sama dengan kaum pria dalam berbagai aktivitas. Imam Bukhori dalam kitab haditsnya menjelaskan betapa kaum wanita terlibat dalam pengobatan para korban perang atau ikut dalam expedisi perang dilaut. Umar bin Khattab ra. mengangkat Al-Syifa’ seorang wanita yang pandai menulis untuk mengurus pasar di Madinah yang sudah tentu disana bercampur baur antara lelaki dan wanita! Juga dalam Shahih Bukhori dikemukakan banyak riwayat tentang dialog wanita dengan pria. Tentunya dalam dialog tersebut wanita berbicara dengan lelaki.
Agama Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan bebas, bukan menganjurkan pergaulan yang terbatas (berlainan jenis hanya berduaan disatu ruang). Agama melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka, apalagi tempatnya terpisah, tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlarang. Demikianlah keterangan Sayyid Quraish Shihab.
Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, hanya dengan ucapan mengatakan; dalam hadits ‘Aisyah ini ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat..... (Fathul-Bari, 16/330)
Kalau sekiranya pendapat Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz ini benar yaitu haramnya berkumpul antara wanita dan lelaki yang bukan muhrimnya di majlis terbuka, mengapa para Muthawwi’ Saudi Arabia yang sepaham akidahnya dengan Syeikh ini membiarkan para wanita shalat berdampingan dengan kaum lelaki yang bukan muhrimnya di Masjidil Haram, Makkah pada musim haji, atau bulan-bulan Rajab, Sya’ban?, yang mana kami alami sendiri pada waktu musim haji dan bulan-bulan suci lainnya. Padahal ada riwayat hadits yang menganjurkan tempat wanita shalat bila berjama’ah adalah di belakang lelaki, juga letak seorang ibu dibelakang anak lelakinya. Dan hal ini di setujui oleh jumhur ulama ahli Fiqih. Dalam hal ini ibadah sholat seharusnya malah lebih diperhatikan daripada berkumpulnya lelaki dan wanita pada peringatan keagamaan itu yang duduk mereka sering berpisah.
Bila kejadian tersebut di atas mereka katakan darurat, tidaklah mungkin karena mereka bisa mengatur untuk memisahkannya. Sebagaimana mereka bisa mengatur dan memeriksa tas-tas ratusan ribu orang yang mau masuk ke Masjid Makkah ini dan memisahkan tempat duduk para wanita serta menghalangi ratusan ribu orang masuk ke masjid kalau didalam masjid sudah sangat penuh. Sedangkan di-masjidil Haram Madinah sholat wanita berdampingan dengan lelaki yang bukan muhrim ini tidak pernah kami alami, walau pun di Madinah waktu itu juga ribuan muslimin yang sholat disana.
Begitu juga Rasulallah saw. memerintahkan agar orang berthawaf di sekitar Baitullah (Ka’bah) yang mana dalam ibadah ini dilakukan bersama-sama antara lelaki dan wanita, baik thawaf sunnah atau thawaf wajib pada waktu haji atau lainnya. Pada waktu thawaf ini sering terjadi perbuatan dosa yaitu tangan-tangan jahil lelaki yang tidak bertujuan untuk ibadah waktu penuh sesak akan sengaja menyentuh aurat wanita atau merapatkan tubuhnya pada wanita didepannya, mencuri dan lain sebagainya. Syari'at Islam tidak melarang pelaksanaan thawaf bersama lelaki dan wanita dalam ruangan terbuka, tetapi yang dilarang oleh agama ialah perbuatan haram/dosa yang disengaja yaitu perbuatan orang-orang jahil yang telah kami kemukakan tadi. Sebenarnya hal inilah yang harus lebih diperhatikan oleh para ulama Saudi khususnya agar sebisa mungkin memisahkan atau membatasi tempat-tempat thawaf antara wanita dan lelaki, sehingga tidak mungkin akan terjadi pergesekan atau persentuhan tubuh antara lelaki dan wanita pada waktu-waktu penuh sesak!!.
Bila thawaf bersamaan antara lelaki dan wanita diruangan yang terbuka tersebut dilarang oleh agama, tidak mungkin Rasulallah saw. makhluk Ilahi yang paling taqwa memerintahkan thawaf baik kepada kaum lelaki mau pun kaum wanita baik diwaktu menjalani manasik Haji maupun thawaf sunnah lainnya. Begitu juga beliau saw. tidak memerintahkan agar wanita diberi waktu-waktu khusus untuk mereka! Tidak lain karena beliau saw. telah meneliti dan melihat pada tempat yang terbuka tersebut tidak mungkin akan terjadi perzinaan, sedangkan bila ada terjadi tangan-tangan jahil yang dilakukan perorangan yang tidak niat ibadah ditempat tersebut itu adalah dosa besar yang ditanggung oleh pribadi itu sendiri. Jadi ibadah/amalan thawaf tidak perlu dilarang atau dimungkarkan karena perbuatan perorangan tersebut, sebagaimana pendapat syekh Bin Baz yang memungkarkan peringa an maulud karena disana terjadi bercampurnya lelaki dan wanita diruangan terbuka yang bukan muhrim.
Jadi sekali lagi bahwa agama Islam pada hakekatnya hanya melarang per- gaulan bebas, melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan ke perzinaan atau kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka (di majlis-majlis dzikir, maulid, pengajian dan sebagainya), apalagi tempat mereka terpisah, ini tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlarang/haram. Baik wanita maupun lelaki selalu dianjurkan oleh syariat agama agar menutup auratnya seperti yang dianjurkan syari’at Islam. Begitu juga dianjurkan kepada para pengurus/organisator majlis-majslis dzikir agar mengatur sebaik mungkin tempat-tempat kaum lelaki dan kaum wanita yang sejalan dengan syari'at atau yang tidak mungkin akan terjadinya maksiat didalam majlis-majlis itu. Bila masih ada orang yang melanggar syari’at baik ditempat majlis dzikir atau lainnya, itu adalah berdosa dan tanggung jawab pribadi orang itu terhadap Allah swt., jadi bukan majlisnya yang harus ditutup atau diharamkan. Wallahu A’lam.

Semoga dengan adanya kesimpulan dalil secara singkat ini kita semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. dan tidak saling cela-mencela sesama saudara muslimnya dikarenakan amalan-amalan sunnah tersebut.

  • Sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi'raj Rasulallah saw.


Isra dan Mi’raj termasuk hari-hari Allah yang harus diperingati karena berkaitan langsung dengan Nabi Besar Muhammad saw. ke alam jabarut atas kehendak dan kekuasaan Allah swt.
Kejadian Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini telah disebutkan dalam firman Allah swt. (QS.Al-Isra), sedangkan riwayat perjalanan Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini diriwayatkan dalam berbagai hadits diantaranya oleh Imam Bukhori, Imam Muslim dan lainnya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj ternyata merupakan ujian tentang sejauh mana orang benar-benar mengimani kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Diantara sejumlah kaum muslimin yang masih sedikit pada masa itu, sebagian goyah dan goncang keimanannya. Bagi mereka yang tidak beroleh hidayat dari Allah swt. bahkan keluar meninggalkan Islam, kembali ke kepercayaan semula.
Bagi mereka ini memang sulit sekali mempercayai sesuatu yang dirasa tidak masuk akal, bahkan mereka ketika mendengar berita tentang peristiwa itu mengolok-ngolok Rasulallah saw, bahkan menuduhnya ‘keranjingan setan’. Ada lagi yang menganggap peristiwa Isra dan Mi’raj itu perbuatan sihir. Memang demikianlah keadaan manusia yang hanya mengenal nikmat lahiriyah (fisik-material), tetapi terjauhkan dari nikmat bathiniah (mental-spritual), yaitu nikmat Iman dan Islam.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. merupakan sebagian dari nikmat dan kebesaran Allah swt. yang mengandung banyak hikmah dan pelajaran bagi ummat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin. Peristiwa Isra yang mendahului Mi’raj dan terjadi pada malam yang sama, juga merupakan mu’jizat yang meyakinkan manusia akan kebenaran Risalah dan agama yang dibawakan oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw.,
terutama mengenai pemberitaan bentuk bangunan Masjid Al-Aqsha di Yerussalem yang disampaikan oleh beliau saw. kepada para sahabat.
Riwayat singkatnya: Setelah beliau saw. sholat dua rakaat didalam masjid Al-Aqsha, dan beliau saw. mengimami sholat jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha ini, Jibril as. membawa beliau Mi’raj yakni naik kelangit pertama sampai ke langit ketujuh. Setiap langit yang beliau saw. hampiri, beliau saw. disambut oleh para Rasul yang terdahulu, misalnya Nabi Adam as berada dilangit yang pertama, Nabi Isa dan Yahya –‘alaihimas salaam- berada dilangit yang kedua, Nabi Yusuf as. dilangit yang ketiga, Nabi Idris as dilangit yang keempat, Nabi Harun as. dilangit yang kelima, Nabi Musa as. dilangit yang keenam dan Nabi Ibrahim as. berada dilangit yang ketujuh, sedang bersandar pada Al-Baitul-Makmur. Tiap hari tujuh puluh ribu malaikat masuk kedalamnya (Baitul Makmur) tanpa keluar lagi. Kemudian Rasulallah saw. naik ke Sidratul-Muntaha. Pada waktu peristiwa Mi’raj ini Allah swt. mewahyukan kepada beliau saw. tentang ketetapan lima waktu sholat wajib sehari semalam. Beliau saw. adalah manusia satu-satunya yang mengalami kejadian itu, Ini tidak lain menunjukkan betapa luhur dan agungnya kedudukan beliau saw..
Peristiwa ini bisa kita ambil pelajaran beberapa soal penting umpamanya, setiap beliau saw. sampai disatu lapis langit selalu disambut gembira oleh para Nabi dan Rasul terdahulu, dan semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw.. Dalam perjalanan Isra ke Palestina di Yerussalem beliau saw. mengimami sholat jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha. Tidak kurang pentingnya dari semuanya itu ialah do’a kebajikan yang dipanjatkan oleh para Nabi dan Rasul di alam baqa bagi junjungan Nabi kita Muhammad saw. Dengan demikian riwayat disini menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat bisa berdo’a dan terbang kemana-mana menurut kehendaknya sebagaimana yang diriwayatkan oleh perawi hadits (lebih mendetail baca kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat pada bab Ziarah kubur dibuku ini)
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu, begitu juga bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang dituturkan dalam hadits-hadits ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai.
Begitu juga halnya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw., walaupun sementara orang berpendapat bahwa tidak ada nash yang jelas menyebut pada malam apa, tanggal berapa dan bulan apa Isra dan Mi’raj itu terjadi, itu sama sekali bukan halangan atau larangan untuk memperingati peristiwa penting dan besar dalam sejarah itu. Keabsahan peringatan Isra Mir’raj menurut syara’ sama dengan keabsahan peringatan maulid. Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsaha an maulid, pada dasarnya memperkuat juga keabsahan peringatan Isra dan Mi’raj. (silahkan baca dalil-dalilnya yang telah kami kemukakan sebelumnya)

Peringatan Isra Mi’raj ini dapat diselenggarakan kapan saja, tetapi yang lebih tepat dan afdhal ialah pada waktu yang telah diisyaratkan dalam berita-berita riwayat (yaitu pada bulan Rajab). Tujuan utama memperingati ini tidak lain sama halnya dengan peringatan maulid Nabi saw. dan hari-hari Allah lainnya adalah mensyukuri nikmat Allah swt. yang tidak terhingga besarnya. Hari hijrah Rasulallah dari Makkah ke Madinah pun sangat banyak sekali hikmahnya. Banyak sekali pelajaran yang dapat ditarik oleh kaum muslimin dari peristiwa besar dalam sejarah Islam ini. Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. silahkan membaca kitab Shohih Bukhori atau dalam shohih Muslim dan kitab lainnya. Demikianlah sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj Sayyidul Mursalin Rasulallah saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar